Jejakkasus.co.id, LAHAT – Pelaksanaan lelang paket pekerjaan proyek yang bersumber dari APBD Kabupaten Lahat Tahun Anggaran 2025 menuai protes dari kalangan aktivis.
Hendri Aidil Fajri, menyebut adanya dugaan praktik “fee proyek” yang memberatkan rekanan. Menurutnya, sebelum mendapatkan paket pekerjaan, kontraktor diminta membayar fee sebesar 15 hingga 20 persen dari plafon pekerjaan.
Setelah itu, pada tahap proses di Unit Pengadaan Barang dan Jasa (UPBJ), kontraktor masih harus menyetor tambahan 2–3 persen ke Pokja terkait.
“Praktik seperti ini jelas merusak tatanan hukum yang berlaku. Dampaknya, kualitas hasil pekerjaan pasti menurun. Padahal, Bupati Lahat sudah berulang kali menegaskan agar seluruh kontraktor menjaga mutu dan kualitas pekerjaan,” tegas Hendri.
Ia menambahkan, sulit berharap kualitas pembangunan yang baik jika sejak awal kontraktor sudah terbebani biaya hingga 25 persen dari nilai proyek.
“Kontraktor akhirnya hanya berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan, tanpa menyadari potensi jeratan hukum dari kepolisian maupun kejaksaan,” ujarnya.
Senada dengan itu, Khairul Akbar, S.IP, meminta agar kontraktor lebih mengedepankan proses hukum dalam mendapatkan paket pekerjaan.
“Untuk meminimalisir potensi pelanggaran, seharusnya pengawasan diperketat. Pemerintahan yang bersih dan berdedikasi perlu menggandeng pihak kejaksaan dalam mengawasi semua proyek APBD,” ungkapnya.
Khairul juga mendorong Kejaksaan Negeri Lahat, khususnya bidang Pidsus, untuk melakukan investigasi ke Unit Pengadaan Barang dan Jasa (UPBJ) Setda Lahat.
Menurutnya, langkah ini penting demi menjamin transparansi dan keterbukaan informasi dalam pelaksanaan lelang proyek APBD Kabupaten Lahat.
(Oby)