 
        SEMARANG, jejakkasus.co.id – Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana kembali menjadi sorotan publik. Lembaga di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PUPR ini dinilai lalai dalam mengelola infrastruktur vital pengendali banjir di Jawa Tengah, khususnya di Wilayah Sungai Jratunseluna.
Kritik itu mencuat setelah pompa pengendali banjir di rumah pompa Kali Tenggang, Semarang, tak berfungsi saat hujan deras mengguyur kota. Penyebabnya ironis: solar habis.
“Bagaimana mungkin fasilitas vital seperti pompa banjir berhenti hanya karena solar habis,” keluh seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Insiden tersebut membuka tabir lemahnya sistem pengawasan dan manajemen logistik BBWS Pemali Juana. Padahal, lembaga ini diketahui mengelola anggaran lebih dari Rp 2,15 triliun setiap tahun berdasarkan DIPA dan laporan keuangan internal.
Sebagian besar dana tersebut terserap untuk proyek-proyek fisik berskala besar, di antaranya normalisasi Sungai Wulan (Rp 1,1–1,2 triliun), pembangunan Bendungan Jragung (Rp 385 miliar), dan Bendungan Cabean di Blora (Rp 499 miliar).
Namun, laporan Japan International Cooperation Agency (JICA) mencatat bahwa alokasi untuk pemeliharaan dan operasi hanya sekitar 0,3% dari total proyek pantai senilai Rp 332,9 miliar, atau sekitar Rp 900 juta.
Ketimpangan ini memperkuat dugaan bahwa BBWS Pemali Juana lebih fokus pada pembangunan proyek besar ketimbang menjaga keberlanjutan fungsi infrastruktur dasar seperti pompa air.
Tak berhenti di situ, lembaga ini juga disorot terkait dugaan pembiaran izin pemanfaatan sepadan sungai palsu di sepanjang Kali Babon, Semarang Timur.
Akibatnya, sejumlah titik aliran sungai menyempit dan memicu banjir berulang di kawasan Genuk dan Pedurungan.
Aktivis lingkungan, akademisi, serta kelompok masyarakat sipil kini mendesak agar BBWS Pemali Juana diaudit secara menyeluruh oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun lembaga independen. Audit itu diharapkan juga melibatkan media massa sebagai bentuk kontrol sosial publik.
Tuntutan audit mencakup tiga aspek utama:
1. Kejelasan aliran dana proyek triliunan rupiah.
2. Efektivitas dan keberlanjutan fungsi infrastruktur.
3. Tanggung jawab pejabat teknis terhadap pelaksanaan proyek.
Publik juga meminta Gubernur Jawa Tengah untuk memberikan rekomendasi pelaksanaan audit internal secara objektif dan transparan.
Kasus ini dinilai mencerminkan persoalan klasik lembaga teknis yang lebih mengedepankan citra proyek fisik ketimbang pelayanan publik.
Infrastruktur besar kerap dijadikan etalase pencapaian, namun persoalan mendasar seperti kesiapan pompa, pasokan BBM, hingga tata kelola izin sungai justru terabaikan.
Apabila dugaan kelalaian dan pembiaran ini terbukti, masyarakat menuntut sanksi tegas bagi pihak yang bertanggung jawab, demi memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga strategis tersebut.
Selama fasilitas vital bisa berhenti hanya karena “solar habis,” publik akan terus bertanya: Untuk siapa sebenarnya triliunan rupiah anggaran BBWS Pemali Juana dikelola?
(KH)
 

 
         
         
        