DKI Jakarta: Dorongan Pembentukan Kementerian Haji Menguat, Demi Pelayanan Ibadah yang Lebih Bermartabat

Jejakkasus.co.id, JAKARTA – Pelaksanaan ibadah haji tahun 2025 kembali menjadi momen refleksi penting bagi Indonesia, tidak hanya dari sisi spiritual, tetapi juga dari aspek penyelenggaraan yang hingga kini masih menyisakan berbagai catatan penting, terutama di titik-titik vital seperti Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Di tengah dinamika ini, wacana pembentukan Kementerian Haji kembali mencuat. Usulan ini dipandang sebagai solusi strategis guna meningkatkan kualitas pelayanan dan tata kelola ibadah haji secara menyeluruh, profesional, dan fokus.

Beberapa permasalahan klasik yang kerap muncul, seperti keterlambatan distribusi konsumsi, hambatan transportasi antar lokasi, serta kurangnya dukungan layanan bagi jemaah lanjut usia, menunjukkan bahwa tantangan di lapangan bukan semata teknis, melainkan juga bersifat struktural.

Meskipun evaluasi rutin dilakukan setiap tahun, fakta berulangnya masalah menunjukkan perlunya solusi kelembagaan yang lebih kuat dan terfokus. Dalam hal ini, keberadaan Kementerian Haji dianggap penting untuk memperkuat koordinasi dengan pemerintah Arab Saudi, terutama menghadapi sistem zonasi dan kebijakan baru yang semakin kompleks.

Sebagai negara dengan jumlah jemaah haji terbesar di dunia, Indonesia membutuhkan institusi yang memiliki mandat khusus dan kapasitas penuh untuk mengelola diplomasi serta pelayanan haji. Selama ini, seluruh urusan penyelenggaraan haji masih berada di bawah Kementerian Agama—lembaga yang juga memikul beban besar di sektor pendidikan dan pembinaan umat. Kondisi ini menimbulkan beban kerja yang sangat luas dan tidak terfokus.

Kementerian Haji, jika terbentuk, diharapkan mampu menjadi lembaga khusus yang memiliki wewenang penuh dalam merumuskan kebijakan, mengawasi pelaksanaan, serta menyiapkan layanan berbasis kebutuhan, khususnya bagi kelompok rentan seperti lansia dan penyandang disabilitas. Berdasarkan data Kementerian Agama, lebih dari 60 persen jemaah haji Indonesia tahun ini merupakan lansia, yang tentu membutuhkan perhatian dan penanganan khusus.

Isu ini juga mencerminkan komitmen negara terhadap perlindungan hak beribadah warganya. Citra dan reputasi Indonesia di mata dunia turut dipertaruhkan melalui kualitas penyelenggaraan haji. Oleh karena itu, diplomasi haji bukan sekadar urusan teknis, melainkan bagian dari strategi hubungan luar negeri yang perlu ditangani secara setara oleh institusi dengan otoritas tinggi.

Saat ini, revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sedang dibahas di DPR. Dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2025, pembahasan RUU tersebut membuka peluang untuk menata ulang kelembagaan penyelenggaraan haji, termasuk opsi pembentukan lembaga permanen atau kementerian tersendiri.

Pembentukan Kementerian Haji tidak hanya realistis, tetapi juga relevan dengan kebutuhan zaman dan tantangan yang dihadapi di lapangan. Lembaga ini akan berperan sebagai motor reformasi struktural dengan orientasi pada efektivitas layanan, kejelasan fungsi kelembagaan, dan akuntabilitas publik yang tinggi.

Sebagai individu yang aktif di organisasi masyarakat dan menyerap langsung aspirasi dari akar rumput, penulis menilai bahwa pelayanan haji harus didasari oleh visi keberpihakan, bukan sekadar formalitas administratif. Negara perlu hadir secara total dalam memastikan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran ibadah para jemaah.

Setiap tahun, ratusan ribu jemaah Indonesia berangkat ke Tanah Suci dengan harapan besar dan perjuangan panjang. Mereka menabung selama bertahun-tahun, meninggalkan keluarga, dan mengorbankan fisik demi menyempurnakan rukun Islam. Maka sudah selayaknya negara memberikan pelayanan terbaik sebagai bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional.

Pembentukan Kementerian Haji memang bukan langkah yang mudah. Dibutuhkan evaluasi menyeluruh, koordinasi lintas lembaga, serta dukungan politik dari semua pihak. Namun jika tujuannya adalah meningkatkan kualitas ibadah dan menghadirkan layanan yang manusiawi, langkah ini layak untuk diperjuangkan.

Sudah saatnya urusan haji ditangani secara terintegrasi oleh lembaga khusus. Dengan demikian, seluruh aspek penyelenggaraan—dari edukasi jemaah, penginapan, konsumsi, layanan kesehatan, hingga penanganan darurat—dapat dijalankan dengan standar tinggi dan tanggung jawab yang terukur.

Ibadah haji bukan hanya puncak spiritual umat Islam, tetapi juga simbol kehadiran negara dalam urusan sakral warganya. Kementerian Haji dapat menjadi instrumen teknokratik yang membawa pelayanan ibadah lebih bermutu, efektif, dan sejalan dengan reputasi Indonesia sebagai bangsa besar yang mampu mengelola ibadah umatnya dengan penuh kehormatan. (Red)

Sumber: DPR RI

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *