Foto: Aulia Nopita Sari, Mahasiswi Universitas Bangka Belitung.
Banjir bandang dan Longsor di wilayah Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh: Akibat dari deforestasi hutan atau semata-mata karena cuaca ekstrem?
Bencana banjir bandang dan tanah longsor telah melanda sebagian besar wilayah Pulau Sumatera sejak akhir November 2025, memicu krisis kemanusiaan dan kerusakan infrastruktur yang signifikan.
Peristiwa bencana alam ini telah merenggut sedikitnya 62 nyawa, membuat puluhan ribu warga terpaksa mengungsi, dan memutus akses vital di tiga provinsi utama: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. (Source: Liputan 6)
Banyak yang menyebutkan bahwa penyebab dari bencana ini adalah cuaca ekstrem, namun apakah benar hanya semata-mata karena cuaca ekstrem? Kita tahu bahwa wilayah-wilayah yang terdampak adalah lokasi yang terkenal dengan aktivitas penambangan dan penebangan kayu yang masif.
Para ahli memperingatkan bahwa bencana ini sangat terkait dengan deforestasi besar-besaran di Indonesia. Pada tahun 2024 saja, negara ini kehilangan sekitar 260.000 hektar hutan. Sebagian besar ditebang dan digantikan dengan perkebunan kelapa sawit monokultur.
Para ahli global telah memperingatkan Indonesia bahwa perkebunan monokultur menimbulkan risiko ekologis yang serius, termasuk peningkatan kerentanan terhadap bencana alam. Demikian pula dengan masyarakat Indonesia yang menderita akibat kebijakan pemerintah mereka.
Sumatra, salah satu pulau terbesar di Indonesia, telah hancur oleh banjir dan tanah longsor yang parah. Dan ini bukan kali pertama kita melihat pola serupa tahun-tahun sebelumnya juga menunjukkan bagaimana hutan yang hilang membuat tanah tidak lagi mampu menahan air hujan deras, sehingga banjir meluap lebih cepat dan longsor terjadi lebih mudah.
Orang-orang di sana, yang hidup bergantung pada lahan itu, kini harus menghadapi rumah yang runtuh dan sawah yang terkubur lumpur, semua karena keputusan yang seolah-olah mengutamakan keuntungan jangka pendek daripada kelestarian jangka panjang.
Cuaca ekstrem memang berperan, tapi deforestasi seperti ini yang benar-benar memperburuk semuanya, membuat bencana terasa lebih brutal dan lebih sering terjadi.
Kita perlu bertanya pada diri sendiri: sampai kapan kita akan membiarkan ini berlanjut, sementara para ahli terus berteriak tentang bahaya yang sudah jelas terlihat?.
Mari kita gali lebih dalam soal bencana ini, karena angka-angka saja tidak cukup untuk menggambarkan penderitaan yang terjadi.
Bayangkan saja, di Aceh, daerah seperti Pidie dan Bireuen yang dulunya subur dengan hutan tropis kini berubah menjadi zona rawan longsor.
Warga di sana bercerita bagaimana hujan deras yang biasanya diserap oleh akar-akar pohon besar kini langsung mengalir deras ke sungai, membawa lumpur dan batu yang menghancurkan desa-desa.
Satu keluarga di sana kehilangan rumah mereka dalam sekejap mata, dan anak-anak mereka harus tidur di tenda darurat sambil bertanya-tanya kapan mereka bisa kembali ke rumah.
Di Sumatra Utara, khususnya di daerah Karo dan Langkat, banjir bandang telah memutus jalan utama, membuat truk-truk bantuan terjebak berhari-hari. Orang-orang terpaksa berjalan kaki melalui lumpur setinggi pinggang, membawa anak kecil dan barang-barang sisa.
Dan di Sumatra Barat, seperti di Padang Pariaman dan Solok, longsor bukan hanya soal tanah yang runtuh, tapi juga soal kehidupan yang terkubur sawah-sawah yang menjadi sumber penghidupan petani kini hilang, digantikan oleh lahan kosong yang tidak bisa ditanami lagi.
Ini bukan sekadar angka 62 korban jiwa; ini tentang ribuan keluarga yang kehilangan segalanya, dari rumah hingga harapan masa depan.
Sekarang, mari kita bicara tentang penyebabnya. Banyak yang bilang ini cuma karena cuaca ekstrem hujan deras yang datang tiba-tiba, angin kencang, atau bahkan fenomena La Niña yang membuat curah hujan meningkat.
Ya, cuaca memang ekstrem tahun ini, dengan data dari BMKG menunjukkan curah hujan di Sumatera mencapai rekor tertinggi dalam dekade terakhir.
Tapi apakah itu satu-satunya penyebab? Mari kita lihat fakta: wilayah-wilayah ini sudah lama dikenal sebagai hotspot penambangan emas ilegal dan penebangan kayu liar.
Di Aceh, misalnya, hutan tropis yang dulunya melindungi lereng gunung kini habis ditebang untuk kayu jati dan rotan, digantikan oleh lahan kosong yang mudah longsor.
Di Sumatra Utara, aktivitas pertambangan batu bara dan sawit telah merusak ekosistem sungai, membuat air tidak bisa terserap dengan baik. Dan di Sumatra Barat, penebangan untuk perkebunan kopi dan kelapa sawit monokultur telah membuat tanah menjadi gersang, tidak lagi mampu menahan erosi.
Para ahli sudah lama memperingatkan ini. Laporan dari World Resources Institute (WRI) pada 2024 menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan hutan seluas 260.000 hektar , sebagian besar di Sumatera. Bayangkan, itu seperti kehilangan area sebesar Jakarta setiap tahun! Dan apa yang menggantikannya?.
Perkebunan kelapa sawit monokultur, yang memang menghasilkan minyak sawit untuk ekspor, tapi dengan risiko ekologis yang mengerikan. Pohon sawit itu tidak punya akar dalam seperti pohon hutan asli, jadi saat hujan datang, tanah langsung licin dan longsor.
Studi dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa daerah dengan deforestasi tinggi memiliki risiko banjir 300% lebih besar dibandingkan hutan utuh.
Ini bukan teori, ini sudah terbukti di lapangan. Ingat banjir besar di Sumatera pada 2014? Saat itu juga, deforestasi menjadi pemicu utama, dan sekarang pola itu terulang lagi.
Masyarakat Indonesia yang menderita ini benar-benar korban dari kebijakan pemerintah. Kebijakan seperti izin penebangan hutan untuk investasi asing atau program perkebunan sawit nasional sering kali mengutamakan ekonomi jangka pendek.
Pemerintah bilang ini untuk meningkatkan PDB, tapi lihat saja: PDB naik, tapi biaya sosialnya mahal. Warga di desa-desa Sumatera, yang dulunya hidup harmonis dengan hutan, kini harus berjuang melawan bencana yang datang berulang.
Seorang petani di Sumatra Barat bercerita, “Dulu, hutan ini melindungi kami. Sekarang, setiap hujan, kami takut rumah kami hanyut.”
Ini bukan cuma soal uang; ini soal kehidupan. Dan pemerintah? Mereka sering kali menyalahkan cuaca, tapi laporan internal Kementerian Lingkungan Hidup sudah lama menyebut deforestasi sebagai ancaman utama.
Mari kita bandingkan dengan cuaca ekstrem. Ya, La Niña memang membuat hujan lebih intens, tapi tanpa deforestasi, hutan bisa menyerap air itu.
Pohon-pohon besar seperti meranti atau damar memiliki akar yang dalam, menyimpan air dan mencegah erosi. Tapi sekarang, dengan hutan hilang, air langsung mengalir ke sungai, menyebabkan banjir bandang.
Di daerah yang masih berhutan, seperti di Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh, bencana tidak separah itu. Ini bukti bahwa deforestasi memperburuk cuaca ekstrem.
Para ahli iklim seperti dari IPCC juga bilang, perubahan iklim memang meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem, tapi deforestasi lokal membuat dampaknya lebih fatal. Jadi, ini bukan “atau”, tapi “dan” cuaca ekstrem plus deforestasi sama dengan bencana besar.
Dampaknya tidak cuma fisik. Secara ekonomi, Sumatera kehilangan miliaran rupiah dari kerusakan infrastruktur. Jembatan-jembatan runtuh, jalan-jalan putus, dan pertanian hancur.
Di Sumatra Utara, sawah-sawah yang biasanya menghasilkan beras kini terkubur lumpur, membuat harga pangan naik dan kelaparan mengancam.
Secara kesehatan, banjir membawa penyakit seperti demam berdarah dan diare, karena air kotor dan sanitasi yang buruk. Anak-anak di pengungsian sering sakit, dan fasilitas kesehatan yang terputus membuat situasi lebih buruk.
Secara sosial, ini memicu migrasi ribuan orang meninggalkan desa mereka, mencari hidup di kota-kota yang sudah padat. Ini menciptakan masalah baru, seperti kemiskinan urban dan konflik sosial.
Dan ini bukan masalah lokal saja. Secara global, deforestasi di Indonesia berkontribusi pada perubahan iklim. Hutan tropis adalah paru-paru dunia, menyerap CO2. Dengan kehilangan ratusan ribu hektar per tahun, Indonesia menjadi penyumbang emisi karbon terbesar ketiga di dunia.
Ini mempengaruhi cuaca ekstrem di seluruh Asia Tenggara, termasuk banjir di negara tetangga. Jadi, bencana di Sumatera bukan cuma soal kita, tapi soal dunia.
Apa solusinya? Kita perlu lebih dari sekadar bantuan darurat. Pemerintah harus menghentikan izin penebangan liar dan mendorong reboisasi.
Program seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) bisa didorong, di mana negara-negara maju membayar Indonesia untuk menjaga hutan.
Masyarakat juga harus terlibat kampanye kesadaran tentang pentingnya hutan, dan dukungan untuk petani yang beralih ke pertanian berkelanjutan.
Misalnya, perkebunan agroforestri, di mana sawit dicampur dengan pohon lain, bisa mengurangi risiko longsor sambil tetap menghasilkan pendapatan.
Tapi ini butuh komitmen. Kita sudah melihat janji-janji pemerintah tentang nol deforestasi pada 2030, tapi angka ratusan ribu hektar per tahun menunjukkan sebaliknya. Korupsi dan tekanan ekonomi sering kali mengalahkan niat baik.
Masyarakat sipil, seperti LSM lingkungan, harus terus menekan. Dan kita sebagai individu? Mulai dari hal kecil: kurangi konsumsi produk sawit, dukung merek yang ramah lingkungan, dan suarakan suara kita di media sosial.
Akhirnya, bencana ini adalah panggilan bangun. Sumatra, pulau yang dulunya simbol kekayaan alam, kini menjadi contoh bagaimana manusia bisa menghancurkan apa yang diberikan alam.
Jika kita tidak bertindak, bencana ini akan terulang, lebih besar lagi. Cuaca ekstrem akan datang, tapi dengan hutan utuh, kita bisa bertahan. Mari kita pilih kelestarian, bukan kehancuran.
Sampai kapan kita akan membiarkan ini? Sampai hutan habis dan kita semua terkena dampaknya? Waktunya sekarang untuk berubah, sebelum terlambat.”
(Aulia Nopita Sari |Universitas Bangka Belitung)
