RUU KPK Disahkan DPR, Bunda Ayu: Pola Korupsi Semakin Transaksional

CIREBON – Sejak masa reformasi dan kebijakan desentralisasi dilaksanakan, banyak sekali Pejabat (politisi dan birokrat) yang dipenjara karena tersangkut kasus korupsi.

Walaupun pada satu sisi menunjukkan bukti bahwa usaha pemberantasan korupsi telah menampakkan hasil, akan tetapi pada sisi lain, hal ini menyisakan pertanyaan ironis yang memilukan. Sebab, kurang dari dua pekan pembahasan revisi UU KPK pada 2019 berlangsung kilat, setelah kemarin Selasa (17/9/19), Revisi UU KPK atau Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi resmi disahkan oleh DPR.

Gelombang penolakan Revisi UU KPK pun datang dari berbagai kalangan, salah satunya oleh Pimpinan Redaksi (Pimred) Media Jejak Kasus (www.jejakkasus.co.id), Ratu Hj. Ayu Suhartini. Menurut wanita yang disapa Bunda Ayu ini, tidak ada urgensi untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika DPR dan Pemerintah serius memberantas korupsi, yang harus direvisi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Di dalam UU Tipikor kita masih banyak yang belum inline dengan Piagam PBB yang sudah kita ratifikasi,” kritik Bunda Ayu dalam keterangannya melihat polemik RUU KPK yang disahkan DPR, Rabu (18/9/19).

Bunda Ayu menjelaskan bahwa, Piagam PBB yang dimaksud adalah Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Beberapa yang belum diakomodir dalam UU Tipikor adalah korupsi di sektor korporasi, perdagangan pengaruh, memperkaya diri sendiri secara tidak sah, perampasan aset, hingga pelayanan publik.

“Revisi ini diputuskan tiba-tiba, saat KPK tengah mencari pemimpin baru untuk periode selanjutnya. Revisi UU KPK justru membuat Indonesia berjalan mundur, Sebab dalam beleid itu ditegaskan, negara yang menandatangani konvensi itu harus membuat badan pemberantasan korupsi yang bebas dari pengaruh manapun. Sementara dalam rencana revisi undang-undang tersebut, KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, melainkan berada pada cabang eksekutif alias pemerintaha

Otomatis, kata Bunda Ayu bahwa, pegawai KPK akan dimasukkan dalam kategori Aparatur Sipil Negara (ASN). Ketentuan itu justru bisa mengganggu independensi pegawai KPK yang menangani kasus korupsi di institusi pemerintahan.

Karena menurut dia, ada empat poin utama dalam revisi itu yang dianggap membuat KPK berada di ujung tanduk. Setidaknya ada empat implikasi yang terjadi. Pertama, independensi KPK terancam, kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi. Ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR yang sarat kepentingan politis, dan keempat, sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi.

“Poin-poin yang ada di dalam draf revisi UU KPK saat ini mirip dengan hasil Pansus Hak Angket terhadap KPK pada 2017. Seperti pembentukan dewan pengawasan, kewenangan KPK untuk menghentikan kasus atau SP3, hingga pegawai KPK yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara,” terangnya.

Bunda Ayu khawatir, perubahan dalam revisi Undang-Undang KPK akan membuat badan ini menjadi “macan ompong” dalam menjaring para koruptor. Pola korupsi juga akan semakin transaksional.

“Contohnya perubahan pada Pasal 12 UU KPK, yang menjelaskan penyadapan hanya terbatas pada tahapan penyelidikan dan penyidikan, serta tidak termasuk penuntutan saat berkas perkara tersangka korupsi masuk ke dalam persidangan. Saya khawatir ini akan membuka peluang transaksional antara koruptor dan penyidik,” paparnya.

Sebab, ada sejumlah poin revisi tersebut yang menurut dia sangat melemahkan KPK. Karena KPK seperti tidak ada fungsinya lagi. Bukan tidak mungkin KPK bakal diintervensi oleh pemerintah dalam penyidikan.

“Ibaratnya nanti KPK mau OTT (operasi tangkap tangan) bisa diintervensi nantinya. Pejabat mana yang mau disidik, pejabat mana yang mau dituntut secara hukum, itu nanti bisa diintervensi. Sebab nanti KPK harus minta izin terlalu banyak, termasuk kepada dewan pengawas,” terangnya.

Sementara secara teoritik, Bunda Ayu menambahkan bahwa, pola korupsi terjadi karena dua persoalan, yakni karena ada kebutuhan (corruption by need), dan karena sikap rakus untuk menumpuk kekayaan (corruption by greed). Namun demikian, kedua penyebab itu bisa jadi terlalu simplistik.

“Sehingga dalam situasi adminisitrasi pemerintahan yang ruwet, keadaan dapat saja memaksa pejabat untuk melakukan korupsi,” ujar Bunda Ayu seraya menambahkan bahwa penyebab pola dan modus korupsi yang terjadi di daerah sangat beragam. Selain faktor yang berkaitan dengan moral hazard, korupsi juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan yang ruwet, peraturan yang berbelit-belit dan tidak jelas, hierarki organisasi yang terlalu kaku, dan persaingan politik dapat menyebabkan seorang pejabat terjebak dalam tindakan korupsi.

“Ada lima pola korupsi di Daerah. Kelima pola tersebut yaitu berkaitan dengan perizinan, pelemahan fungsi pengawasan, manipulasi pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, dan penyelewengan penggunaan dana desa,” tambahnya.

Masih kata Bunda Ayu, kondisi ini semakin parah oleh lemahnya perilaku dan komitmen aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Ketiadaan sistem yang terintegrasi dalam strategi pemberantasan korupsi menyebabkan aksi pemberantasan korupsi tidak berjalan efektif.

“Oleh karena itu, diperlukan formulasi alternatif kebijakan pemberantasan korupsi yang komprehensif berdasarkan pada asas akuntabilitas dan partisipasi publik,” pungkas Bunda Ayu. (AF).

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *